Kerajaan ini berada di wilayah Jawa
Tengah bagian utara (sekarang Jepara). Dalam berita Cina kerajaan ini disebiut
Holing. Di sana dijelaskan bahwa pada abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara
sudah berdiri satu kerajaan. Rakyat dari kerajaan tersebut hidupnya makmur dari
hasil bercocok tanam serta mempunyai sumber air asin. Hidup mereka tenteram,
karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Ilmu perbintangan sudah dikenal dan
dimanfaat dalam bercocok tanam.
Raja yang terkemuka dari kerajaan ini adalah Ratu Sima. Pemerintahannya
berlangsung dari sekitar tahun 674 masehi. Ratu Sima menerapkan
peraturan-peraturan secara disiplin. Kepada setiap pelanggar, selalu diberikan
sangsi tegas. Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan
ketaatan rakyat Kalingga terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi
uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorangpun menyentuh atau
mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota
menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong
kakinya sebagai hukuman. Karena hukuman itu dirasa terlalu berat, para
penasehat Ratu memohon agar hukuman diperingan, namun Ratu berkeras. Setelah
didesak, Ratu Sima memutuskan untuk memperingan hukumannya. Kaki putra mahkota
tidak jadi dipotong tetapi hanya jari-jari kakinya saja.
|
Sejarah Kerajaan Kalingga |
Rakyat Holing menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina
yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi Hwi-Ning
seorang pendeta budha dari cina datang ke Holing dan menetap selama 3 tahun.
Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana yang
berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya Hwi-Ning dibantu
oleh seorang pendeta kerajaan Holing yang bernama Janabadra.
Menurut Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760, pada tahun 664 Masehi kerajaan
Kalingga dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah Timur dan berlanjut dengan nama
Kerajaan Kanjuruhan.
Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan
yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada
di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas
dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah
berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang
bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data
mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang
dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa
Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.
Ratu Shima yang Tegas
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang
(618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya
jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi.
Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling
diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai
raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa
yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana,
serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan
ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada
seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan.
Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu
hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita
tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal
lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari
para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang
tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher
melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat
Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup
bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum,
kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut
Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri,
empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di
daerah-daerah.
Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan
utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim
utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan
lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan
sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad
ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah
mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya
harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu
perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini
menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi
dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang
laut.
Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa
pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu
selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang
bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra)
ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal
dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa
berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk
Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah
pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai
bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar
leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak,
gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan
sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut :
Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir
ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah
menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.
Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan
bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula
badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah
mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga
kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit,
melainkan menggunakan tangan.
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu
Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima
digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan.
Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah
tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.
Asal Mula penyebutan Ho-ling
Nama Ho-ling
sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan
Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal
(420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian
berita-berita Cina dari Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan
Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul
pada 820-856 M
Sumber sejarah
Nama
Kerajaan Ho-ling sempat tercatat dalam kronik dinasti Tang yang memerintah
Cina pada 618-906 M. Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Ho-ling biasa
makan tanpa menggunakan sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya
saja, dan gemar minum semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon
kelapa (aren). Ibukota Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar dari kayu. Raja
mendiami istana yang bertingkat dua yang beratapkan daun palma. Raja duduk di
atas bangku yang terbuat dari gading, memergunakan juga tikar yang terbuat dari
kulit bambu. Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah bukit yang disebut
Lang-pi-ya, yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut
Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti
Tang. Seorang pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M
telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ
selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan
berbagai kitab suci agama Budha Hinayana
Letak Kerajaan kalingga Ho-ling
Ada dua
sumber Cina yang berasal dari Dinasti T’ang memberikan arahan tentang Kerajaan
Ho-ling. Kedua versi tersebut yaitu berita Cina Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu.
Kedua versi tersebut memberitakan tentang Ho-ling sebagai berikut: “Ho-ling
yang juga disebut She-p’o terletak di lautan selatan. Sebelah timurnya terletak
P’o-li dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya ialah
lautan dan disebelah utaranya ialah Chen-la”
Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906
M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah.
Tanahnya sangat kaya, dan di situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram
Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina. bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang memegang tampuk
pemerintahan. menunjuk bahwa letak Kerajaan Ho-ling berlokasi di
Jawa Tengah. Kroom dan kronik dari dinasti T’ang yang
menyebut bukit Lang-pi-ya untuk melihat laut, maka besar kemungkinan Ho-ling
berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah bagian pesisir utara disimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling kemungkinan
terletak antara Pudakpayung-Salatiga.
Tentang Lang-pi-ya disebutkan oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di sana apabila
pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki,
bayangannya akan jatuh di sebelah selatannya dan panjangnya dua kaki empat
inci. Berdasarkan panjang bayangan yang jatuh dari tingginya gnomon tersebut, bisa
dihitung bahwa letak Ho-ling berada pada 6° 8’ LU. Dilihat dari perkiraan
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di Jawa.
Akan tetapi penulis Hsin-tang-su tersebut telah membuat dua kekeliruan.
Pertama, semestinya penghitungan bayangan dilakukan pada pertengan musin
dingin. Kedua, jatuhnya bayangan ada di sebelah utaranya. Jika pembenaran ini
bisa diterima, maka letak Ho-ling berada di 6 ° 8’ LS, jadi di pantai utara
Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya yang terletak
di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem
Koreksi tersebut dikuatkan dengan adanya seorang pendeta Budha bernama I-tsing
yang menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama
Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta
Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana. Dari bukti yang dibawa I-Tsing ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa di Jawa dalam tahun 664 M terdapat sebuah kerajaan yang
menganut ajaran murni Budhis dan menjadi populer. Kerajaan tersebut bernama
Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah (kira-kira di wilayah Kecamatan
Keling Kelep, Kabupaten Jepara sekarang iniBahkan ada sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal
Jepara.
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan)
Pada 674-675 M (tepatnya tahun 674
M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang ratu bernama Si-mo. Konon ratu
ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi
negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala
disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah
yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan
Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih
dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan
pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan
kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk
mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut
aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut.
Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri
mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena
kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga
memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong.
Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan
Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah
memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling
She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut berita
dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa T’ien-pao tahun
742-755 M.
Mata pencaharian
Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil
bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Ada sebuah gua
yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk
menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai
bledug tersebut.
Keagamaan
Salah satu sumber yang berbicara
tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan
perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti
Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning
dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut
bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana.
Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha
yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana.
Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti
bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama dengan
Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang
pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar
dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling
tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha
Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa
yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah
Njnanabhadra.
Hubungan dengan negeri luar
Pada masa Chen-kuang (627-649 M)
raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke
Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan
raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina.
Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan
768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan
empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan
benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar
kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut
diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan
memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling
masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang
budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya
berbagai sumber sejarah.