Pada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, terjadi beberapa seri
perang yang melibatkan Muslim Arab dengan kerajaan Romawi Timur atau yang
disebut juga dengan kerajaan Byzantine. Peperangan besar ini terjadi ketika
ekspedisi Muslim yang ada di bawah pimpinan Rashidun dan kekhalifahan Umayyad
baru saja dimulai pada awal abad ke-7, dan dilanjutkan oleh penerusnya hingga
pertengahan abad ke-11. Salah
satu perang ini merupakan perang besar yang dikenal dengan nama perang Mu’tah.
Sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan Romawi
sendiri dimulai pada tahun 8 Hijriah (sekitar tahun 629 Masehi) di sebuah desa
di Mu’tah, bagian timur dari sungai Jordan dan Karak.
Linimasa Perang Mu’tah
kerajaan
Byzantine. Selain serangan, dua kali ancaman untuk penundukkan Konstantinopel
juga dilayangkan.
Latar
belakang perang Mu’tah sendiri terjadi ketika perjanjian Hudaybiyyah mengatur
gencatan senjata antara kaum Quraish dan tentara yang mengatur kekuatan di
Mekah. Badhan, pemerintah Sassani dari Yemen sudah mulai masuk Islam, begitu
juga kaum-kaum yang ada di Arab Selatan, meningkatkan kekuatan militer di
Madinah. Karena hal ini, Muhammad menjadi sedikit lebih bebas dan bisa fokus
terhadap suku Arab yang ada di utara, yaitu Bilad al-Sham. Salah satu sejarawan
Islam menyatakan bahwa pergerakan militer ke utara adalah karena perlakuan yang
buruk pihak utara kepada utusan yang dikirim Muhammad, dimana utusan tersebut dibunuh. Yang menyebabkan
kerajaan Byzantine ikut campur adalah karena kaum Bani Sulaym dan Dhat al Taih
merupakan kaum yang ada dalam perlindungan Byzantine.
Sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan Romawi
dimulai ketika pada awal tahun 8 Hijriah (sekitar tahun 629 Masehi), Muhammad menggerakkan
pasukannya menuju area Jumada al-Awwal untuk ekspedisi singkat dengan tujuan
menyerang dan menghukum kaum yang membunuh utusannya. Pemimpin pasukan ini
ialah Zayd ibnu Haritha, dengan Jafar ibnu Abi Talib dan Abdullah ibnu Rawahah
tepat di bawahnya. Pemimpin Ghassanid dipercaya telah mengetahui tentang
serangan yang direncanakan oleh Muhammad ini, sehingga ia mulai menyiapkan
pasukannya dan meminta bantuan dari Byzantine. Ada dua versi tentang siapa yang
memimpin pasukan besar dari Romawi ini, dimana salah satu versi mengatakan
bahwa pemimpinnya adalah Heraclius langsung, dan versi lain adalah adik dari
Heraclius, yaitu Theodorus.
Ketika pasukan Muslim tiba di area timur Jordan dan mengetahui ukuran
tentara yang dibawa oleh pasukan Byzantine, mereka menjadi takut. Mayoritas
dari mereka ingin menunggu sebentar dan menunggu bantuan dari Madinah datang,
tapi kemudian Abdullah ibnu Rawahah mengingatkan mereka tentang keinginan
jihad, dan mempertanyakan apakah baik jika mereka menunggu sedangkan apa yang
mereka inginkan ada di depan mereka. Mendengar pernyataan dari Abdullah
tersebut, hati para pasukan tergerak, dan segala keraguan yang menghantui
mereka beberapa saat lalu mendadak hilang sehingga mereka berani untuk terus
maju ke medan perang melawan pasukan yang jumlahnya hampir 67 kali jumlah
mereka sendiri.
Pertikaian pertama antara pihak Muslim dan Byzantine yang membuka sejarah
perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan Romawi – terjadi
di kamp mereka sendiri, di desa Musharif dimana mereka kemudian mundur ke
Mu’tah. Baru di Mu’tah lah perang besar terjadi. Beberapa sumber Muslim
mengatakan bahwa perang yang terjadi ini mengambil tempat di antara dua lembah
dengan tinggi yang berbeda, dimana hal itu menetralkan superioritas jumlah yang
dimiliki tentara Byzantine. Dalam perang ini, ketiga pemimpin pasukan Muslim
tumbang satu persatu dimulai dari Zayd ibnu Haritha yang disusul oleh Jafar ibn
Abi Talib dan Abdullah ibnu Rawahah setelahnya. Al-Bukhari melaporkan bahwa di
bagian depan tubuh Jafar terdapat 50 luka tusuk. Melihat semangat tentara
Muslim yang mulai menciut, Thabit ibnu Al-Arqam mengambil alih komando dan
menyelamatkan pasukannya dari kehancuran total. Setelah perang selesai, para
pasukan meminta Thabit menjadi pemimpin mereka yang ia tolak, dimana ia
kemudian meminta Khalid ibnu al-Walid untuk memimpin.
Ketika perang, Khalid dilaporkan menggunakan 9 pedang yang seluruhnya rusak
karena peperangan lanjutan yang terjadi sangatlah intens. Pada akhirnya, Khalid
melihat bahwa situasi mereka sangat terdesak dan mulai bersiap untuk mundur. Ia
terus mengonfrontasi Byzantine dalam pertikaian kecil, tapi menghindari
pertikaian besar. Suatu malam, Khalid mengganti posisi pasukannya dan membawa
rearguard yang telah dipasangkan bendera baru. Hal ini untuk membuat impresi
bahwa ada pasukan tambahan yang dikirim dari Madinah. Khalid juga memerintahkan
kepada para kavaleri untuk mundur ke belakang bukit pada malam hari agar
gerakan mereka tidak diketahui oleh pihak Byzantine, dan kembali pada siang
hari sambil menaikkan jumlah debu yang bisa mereka kumpulkan sebanyak mungkin.
Hal ini menjadi bagian penutup sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim
melawan 200.000 pasukan Romawi – dimana pihak Byzantine percaya akan adanya
pasukan yang menolong dari Madinah, dan memutuskan untuk mundur.
ADS HERE !!!