Kampung Kapitan - Nama Kapitan identik dengan sebuah perkampungan seluas lebih
kurang 20 ha di kawasan Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Nama ini menjadi semacam penanda bagi keberadaan komunitas marga Tionghoa yang
berdiam di kampung itu.
|
kampung kapitan |
Pembatas kampung, mulai dari tepi Sungai Musi di utara
hingga ke tepian Jl K.H.A. Azhary di bagian selatannya. Bagian barat berbatasan dengan
Sungai Kelenteng kini sudah mati dan timur dengan Sungai Kedemangan. Jalan
masuk ke Kampung Kapitan, demikian masyarakat Palembang menyebutnya, sepanjang
lebih kurang 50 meter. Saat memasuki kawasan utama kampung ini, orang melewati
semacam gerbang yang sesungguhnya merupakan penghubung antara Rumah Kapitan dan
Rumah Abu, yang merupakan simbol kampung ini. Sebutan Rumah Abu ini, setelah
berakhirnya masa Kapitan Cina terakhir, Kapitan Tjoa Ham Hin.
Dia
menggantikan kedudukan ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan. Rumah Kapitan berukuran
asli 22 X 25 meter. Keturunan Kapitan, yang menjadi ahli waris rumah itu,
membuat bangunan tambahan di bagian belakang sehingga ukuran panjangnya menjadi
50 meter. Di ruang utama, terdapat meja sembahyang, yang ditempatkan beberapa
pedupaan (tempat hio), dan patung para Toa Pe Kong. Salah satunya, Toa Pe Kong
Sie, yang merupakan leluhur keluarga Tjoa. Leluhur Kapitan Tjoa, menurut
semacam buku harian milik keluarga ini, adalah Sie Te, yang datang ke Palembang
pada masa peralihan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam,
yaitu antara abad XVI-XVIII
Kampung
Kapitan - memang salah
satu bangunan peninggalan China. Namun, bukan ciri khas China yang melekat di
sana, melainkan perpaduan antara budaya Palembang, China, dan Belanda yang
terasa kental mewarnai kawasan yang terletak di pinggir Sungai Musi ini.
Menurut
budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, munculnya Kampung Kapitan
berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya
Dinasti Ming di China pada abad XIV.
Sejak zaman
Sriwijaya hingga kini, Sungai Musi menjadi urat nadi jalur transportasi air
untuk menggerakkan perekonomian Kota Palembang dan sekitarnya. Alur mudik
kapal, perahu, getek, tongkang, tug boat maupun speed boat yang membawa hasil
bumi, dapat terlihat. Namun, di balik padatnya aktivitas di sungai yang
membelah Kota Palembang menjadi dua, yakni Seberang Ulu dan Ilir ini, ada yang
lebih menarik perhatian wisatawan, yaitu Kampung Kapitan.
Kampung
Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala China yang terletak
di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Kampung ini pada awalnya
merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan China berpangkat kapitan
(kapten) yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda.
Lahan di
Seberang Ulu ini memang untuk para pendatang dari luar Palembang. Uniknya,
bentuk rumah mengadopsi bentuk rumah limas (rumah tradisional Palembang) yang
diperuntukkan bagi para bangsawan Palembang. Namun, bentuk rumah juga
mengadopsi tipologi rumah masyarakat China dengan courtyard (ruang terbuka) pada
bagian tengahnya, yang berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya.
Tradisi juga
masih nampak pada interior rumah yang dilengkapi dengan meja altar pemujaan
bagi leluhur. Perpaduan ini dapat dipahami, sebab pada masa akhir pemerintahan
Kesultanan Palembang, masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan masyarakat asli
Palembang melalui perkawinan atau memeluk agama Islam.
Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat
yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa. Ini terlihat
pada kolom penyangga pada bagian teras depan yang pada rumah pertama berbahan
kayu, berganti menjadi kolom bata dengan gaya klasik eropa, walau dengan
proporsi yang disesuaikan dengan tampang bangunan.
Bangunan
inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling
besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah paling sering
difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan tempat pertemuan, sementara kedua
rumah di sisi timur dan barat untuk rumah tinggal.
Dari arah
darat, hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan yang berjarak sekitar 800
meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun
pintunya hilang. Tapi kini, keanggunan Kampung Kapitan nyaris hilang. Hanya
bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan
kecil di berbagai sudut.
Selain itu,
bagian bangunan yang terbuat dari kayu tampak kusam. Namun, dinding kayu tidak
rusak karena terbuat dari kayu unglen yang tahan selama ratusan tahun. Di dalam
rumah, meja abu dan altar sembahyang yang dihiasi beberapa patung dewa, juga
terlihat berdebu dan dikotori sarang laba-laba. Hampir tidak ada lagi meja
kursi atau lemari yang dapat menggambarkan situasi masa lalu. Hanya ada
beberapa foto kapitan masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.
Taman bagian
tengah kampung juga sudah berubah menjadi tanah lapang yang tidak terurus. Dua
patung singa, lambang rumah perwira China yang dulu pernah menghiasi bagian
depan rumah inti juga hilang. Menurut Tjoa Kok Lim, Kampung Kapitan tidak
terurus setelah ditinggalkan para keturunan kapitan. Tjoa Kok Lim menjaga rumah
itu karena keempat saudara perempuannya mengikuti suami mereka ke luar
Palembang.
Pudarnya
ketenaran Kampung Kapitan juga membuat anak-anak Tjoa Kok Lim memilih bekerja
di Jakarta dan Lampung. Ia kini hanya ditemani seorang anak perempuan untuk
menjaga kedua rumah inti, setelah rumah ketiga dijual kepada orang lain.
Rumah-rumah kecil di Kampung Kapitan juga sudah dikuasai para penghuninya, tidak
lagi dalam kepemilikan keluarga kapitan Tjoa Ham Hin.