|
Ali Bin Abi Thalib |
Dari Sejarah Kisah seluruh sahabat
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib adalah salah satu yang pertama kali memeluk
Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. Ia memiliki kedudukan
yang sangat istimewa. Kedudukan ini sangat istimewa diberikan Rasulullah saw.
Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak
dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi
berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan
mencaci karya para sahabat utamanya itu.
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan
Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi
Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah
yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan. Ali semanjak kecilnya
sudah dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang
sangat fasih berbicara dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas
sehingga tidak heran dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak
meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.
Ali menggantikan kekhalifahan
Usman bin Affan yang telah meninggal sebelum jabatannya berakhir selama kurang
lebih sekitar lima tahun, setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak
melakukan perubahan hukum ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak
pertanahan, pembagian harta
warisan perang. Juga timbul bermacam-macam masalah yang dapat mempengaruhi
kemajuan dan kemunduran negara Islam. Dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan politik pada masa khalifah
Ali bin Abi Thalib serta kemunduran akibat pemberontakan-pemberontakan yang
ditandai perang terbuka antar umat Islam.
A. ALI BIN ABI THALIB
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz,
Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun
sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600
(perkiraan). Muslim Syi'ah
percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah.
Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian
riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun
bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah
SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk
mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara
kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama
Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan
Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAWkarena
beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib
memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah untuk
mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas
jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga
dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika
Rasulullah SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq
menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau
orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali
berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari
Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan
Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah.
Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada
pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan
istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada
Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Bila ilmu
Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan diajarkan
kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada
orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari
Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali
menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam
berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.[4] Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa
dan selalu hadir pada setiap peperangan
karena itu dia selalu berada di barisan paling depan pada setiap peperangan
yang dipimpin Rasulullah.
B. Pembaiatan ali bin abi thalib
sebagai khalifah
dan kemajuan yang dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman,
kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah.
Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki
kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali
berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat
penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5]
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah
Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
menggantikan Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman
mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi
kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan
sebelumnya. Ali Terpilih menjadi khalifah
sebenarnya menimbulkan pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah
dan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah
Usman bin Affan.
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang
keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan
hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan
yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai
Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas
kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan
Ali.
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali
melakukan kebijakan politik seperti sebagai berikut:
1. Menegakkan hukum finansial yang
dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
2. Memecat
Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang
baru
3. Mengambil
kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman bin Affan kepada
keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara
jelas dan memfungsikan kembali baitul maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab
dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah ditaklukkan
Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab
di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di
Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.
Ali bin Abi
Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah
kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan
berujung pada .....,
Syair-syair
Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M)
tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama
memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontkan di berbagai wilayah
kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan
yang masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara
yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun
demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan
egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat wajar dan
pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat pertentangan dan
peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk memperebutkan kekuasaan yang
diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya Usman dan juga pemecatan-pemecatan
pejabat serta pengembalian harta milik yang tidak jelas.
C. PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena ia
adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak
diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang
memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai
lawanannya Muawiyah
sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat
berambisi menjadi khalifah
dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah
sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya (Usman)
yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai
khalifah
Ali bin Abi Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya
dan mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah
yang pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota
yang sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah .
hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan.
Meskipun Muawiyah
tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal
kematian khalifah
Usman bin Affan dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka.
Padahal Muawiyah
sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali
sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar
pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu
atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali
lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai tindakan Ali
setelah menjadi khalifah,
para sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada
Ali. Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin
dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn
Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka
tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan
membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya
Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun).
Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara
untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari berbagai
macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan
pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat
senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran
hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam
D. PERANG JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah SAW
dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan
mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul
Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang
sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan
Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang
dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan terhadap Ali,
sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai’at pada
Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan
Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan
ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri
karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari
keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya
mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat
dukungan masyarakat setempat.
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa
di Syria (Syam) Muawiyah telah
bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan
menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut
terlaksana, tiga orang tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah,
Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk
memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk
memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas
kematian Utsman, akan tetapi
ada semacam dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat
terhadap peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana
pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam
pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul
dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada
faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi
khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap
Ali.
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga
Zubai melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan
menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini,
sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga akhirnya ontanya dapat
dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah
bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh
kehormatan dan kemuliaan.
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan
oleh karena kenigninan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah
bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah
bin Zubair bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut
Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi
Thalib.
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan
mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih
lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian
yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul
mereka.
E. PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali
dengan pasukan pendukung Mu’awiyah
berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini
berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.
Setelah kematian Utsman,
pihak keluarga Utsman
dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah
bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab,
mengajukan tuntutan atas kematian Utsman
kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman
berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum
stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu.
Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum
mengakui khalifah Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus
ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat
bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan
sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga
menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman,
hal ini tidandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak
bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali,
diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah
mengadakan kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga
mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah
kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan
khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu
sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada ambisi
untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia
sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa
awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah,
akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal,
Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dengan dukungan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu
pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr.
Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan
membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada
pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya,
agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh
kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi
pada waktu itu ‘Amr bin Ash
yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat
perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat
hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk
dari Amr bin Ash.
Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari
dan Amr bin Ash
yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat keepakatan
untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu
dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai
orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan
kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin
‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari
jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak
menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan
Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah
kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada
Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi
khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya
sebagai khalifah.
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya,
mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu
tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan
sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan
pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum
Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash,
Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Kaum
khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi
kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali,
menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya
sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah
menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah
makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk
menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah,
makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk
menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk
membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash,
Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya
meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman
ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh
tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash,
mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah).
Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin,
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Syi'ah
berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad,
dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan
kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
Syi'ah
selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam
(AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni
Sebagian Sunni
yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang
Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni
menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga
Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang
juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu
Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum
Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan
wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan
dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang
berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan
dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian
bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga
musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu
al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship).
Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood.
Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan
catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan
pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari
Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib
Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab
lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah.
Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian
riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun
bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar
bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa
adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi
tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang
baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang
berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan
anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi
bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib
banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki.
Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama
istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal
ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi
sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama
dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat),
hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis
(Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian
riwayat Sunni,
hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu
Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut
atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik
ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu
turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh,
berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau
menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi
bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam
bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang
kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada
beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau
hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua
yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara
masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan
kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi
kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau
syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang
pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan
di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan
menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur
sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah
tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri
kesayangannya Fatimah
az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal
seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu
mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di
bawah Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas
pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun
lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu
Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam
bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman
Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam
perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia
yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika
memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu
tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi
dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum
Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut
sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat
kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para
sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw
bersabda:
"Besok,
akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia
akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya.
Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut.
Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta
mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil
membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya
dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena
mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib,
perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah
berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus
menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada
saat Ali dan Fatimah
masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat
Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi
dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut.
Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji (
Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu
tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu
adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah
di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam
khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap
aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang
mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai
Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya.
Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib
terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan
setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang
terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah
meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah
perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali
belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda,
ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian
sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai
khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin
Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu
itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu
itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan
Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at
mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal,
karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang
memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang
terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk
pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa
pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000
pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin
Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh
pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin
Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat
diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan
(akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah
oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan,
menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang
tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga
akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga
berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan
dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam
administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman
bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij
(pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19
Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan
tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa
riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan
Ali memiliki
delapan istri setelah meninggalnya Fatimah
az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak
laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah,
adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah
dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa
Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai
keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi
Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak
perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan
Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib
kerap digelari Sayyid.